URGENSI
EKONOMI ISLAM
Ekononomi yang di terapkan di dunia
internasional pada saat ini merupakan ekonomi kapitalis yang hanya mempunyai
prospek kedepannya untuk meningkatkan profit. Dimana ekonomi ini tidak pernah
memperhatikan prinsip-prinsip dasar dalam perekonomian. Pada konsep ekonomi ini
tidak ada terdapat tujuan dalam memakmurkan umat, tetapi lebih mengemukakan
individu mereka masing-masing.
Namun pada akhir-akhir ini telah mulai
berkembangnya ekonomi islam sebagai solusi di dalam melaksanakan perkonomian
agar terciptanya tatanan ekonomi yang mampu mengantarkan ummat manusia kepada
satu system ekonomi yang memang memberikan kemakmuran dalam kehidupan.
Kalau kita sedikit melirik sejarah
dimasa Rasulullah Saw , ekonomi yang di jalankan memang merupakan ekonomi yang
mempunyai tujuan untuk memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat muslim pada
saat itu. Begitupun pada masa-masa khalifah sesudah Rasululla Saw yang mampu
meningkatkan perekonomian umat muslim dengan mempunyai lembaga keuangan yang
berlandaskan kepada syariat-syariat islam.
Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz,
pemberdayaan zakat dalam perekonomian sangat luar biasa, dimana tidak ada lagi
mustahiq zakat yang harus menerima zakat, bahkan yang dulunya mustahiq zakat
dan pada akhirnya berubah posisi menjadi muzakki, itu semua terjadi karena
pengelolaan zakat dalam islam memang terlaksana, dan ini merupakan salah satu alternatif
ekonomi dalam memberantas kemiskinan.
Pada Ekonomi yang berlandaskan syariah
ini, transaksi yang di lakukan sangat jauh dari unsur riba, karena riba sangat
di haramkan dalam syariat islam. Begitupun dengan kegiatan-kegiatan ekonomi
yang mengandung unsur ngarar dan juga yang mengandung unsur spekulatif.
Selain berbeda dengan seluruh sistem buatan manusia yang ada -yaitu lebih
dalam dari segi kebebasan individu pemanfaatan sosial -sesungguhnya Islam juga
berbeda dengan sistem-sistem itu di dalam ruh dan asasnya, dalam tujuan dan
orientasinya dan di dalam kepentingan dan fungsinya.
Sesungguhnya dasar-dasar dari sistem Islam bukanlah buatan manusia, bukan
pula ciptaan sekelompok dari manusia, tetapi ia merupakan ketentuan Allah yang
Maha Mengetahui, yang menginginkan bagi hamba-Nya kemudahan dan bukan
kesulitan.
Sesungguhnya Allah adalah Rabb bagi segala makhluq. Dia-lah yang mengatur
segala sesuatu tanpa penyimpangan dan tanpa pemihakan. Dia adalah Rabbnya
aghniya' dan fuqara', Rabbnya para buruh dan para pemilik profesi, Rabbnya para
pemilik dan Rabbnya para penyewa, mereka semua adalah hamba dan keluarga-Nya.
Dia mengasihi mereka jauh lebih besar daripada kasih seorang ibu terhadap
anaknya. Maka apabila Allah membuat suatu sistem hidup untuk mereka, niscaya
tidak ada yang lebih adil, lebih sempurna dan lebih ideal dari rancangan Allah.
Berbeda dengan sistem-sistem lainnya, yang semuanya adalah buatan manusia yang
penuh dengan kekurangan dan dikuasai oleh hawa nafsu.
Sesungguhnya sistem-sistem itu bersifat materi murni yang menjadikan
ekonomi sebagai orientasi hidupnya, menjadikan harta sebagai sesembahannya dan
dunia seluruhnya menjadi pusat perhatiannya (tumpuan harapannya). Sesungguhnya
kemewahan materi itulah tujuan akhir dan menjadi Firdaus yang diinginkan.
Adapun Islam, dia telah menjadikan ekonomi sebagai sarana untuk mencapai
tujuan besar, yaitu hendaknya manusia tidak disibukkan dengan kesusahan hidup
dan perang roti yang melalaikan dari ma'rifah kepada Allah dan hubungan baik
dengan-Nya serta kehidupan lain yang lebih baik dan abadi. Karena sesungguhnya
manusia itu apabila terpenuhi kebutuhannya dan keamanannya maka mereka merasa
tenteram dan berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah dengan khusyu'. Allah
berfirman, "Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dan ketakutan." (Quraisy 4). Sehingga mereka
merasa terikat dengan ikatan persaudaraan yang kuat antara satu dengan yang lainnya
dari hamba-hamba Allah. Inilah tujuan ekonomi dalam Islam.
Sesungguhnya ekonomi dalam sistem-sistem Materialis yang ada itu terpisah
dari akhlaq dan nilai-nilai kemuliaan, karena penekanan utamanya adalah
meningkatkan produktivitas, dan penumpukan kekayaan pribadi atau kelompok
dengan cara apa pun.
Dalam pandangan Islam, ekonomi adalah khadim (penopang atau sarana
pendukung) bagi nilai-nilai dasar seperti aqidah Islamiyah, ibadah dan Akhlaqul
Karimah. Maka apabila ada pertentangan antara tujuan ekonomi bagi individu atau
masyarakat dengan nilai-nilai dasar itu maka Islam tidak mau peduli dengan
tujuan-tujuan tersebut dan sanggup mengorbankan tujuan-tujuan itu dengan
kerelaan hati. Hal itu dalam rangka memelihara prinsip-prinsip, tujuan dan
keutamaan manusia itu sendiri.
Dari sinilah Islam mengharamkan haji bagi kaum musyrikin dan mengharamkan
thawaf mereka di Baitullah dengan telanjang. Betapa pun syi'ar agama ini
membawa suatu keuntungan materi bagi penduduk Makkah dan sekitarnya, tetapi Al
Qur'an menganggap semua itu kecil dan menjanjikan kepada mereka bahwa Allah
akan mengganti untuk mereka yang lebih baik dari itu. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik
itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (At Taubah: 28)
Apabila kita membuka klub-klub untuk judi atau dansa, dan penjualan
minuman keras. Memang hal itu dapat menghasilkan manfaat ekonomi, seperti
mendorong para turis untuk datang dan mendapatkan mata uang asing dan
sebagainya. Akan tetapi manfaat seperti itu tidak ada nilainya dalam pandangan
Islam, karena dia bertentangan dengan prinsip-prinsipnya dalam memelihara
kesehatan akal, fisik, akhlaq, aqidah dan hubungan sosial. Karena itulah Al
Qur'an mengharamkan minuman keras dan judi, karena pada keduanya terdapat
madharat yang besar. Adapun manfaat keduanya dari segi ekonomi sama sekali
tidak perlu diperhitungkan. Allah SWT berfirman:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah,
"Pada keduarya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya." (Al Baqarah: 219)
Dengan demikian maka jelaslah bagi kita bahwa sistem Islam itu
benar-benar terpadu dengan rapi.
Sesungguhnya Islam berbeda dengan paham Materialis yang berlebihan dalam
mengumbar hawa nafsu manusia dan memberinya hak yang tak terbatas sehingga
membengkak dan melampaui batas. Islam juga berbeda dengan Sosialisme yang
berlebihan dalam menekan seseorang dan membebaninya dengan kewajiban-kewajiban
yang berat sehingga tertekan dan merasa terus-menerus dalam kesulitan.
Sesungguhnya paham pertama di atas memihak perorangan dan mengesampingkan
pertimbangan kemaslahatan bersama. Sedang yang kedua memihak masyarakat dengan
menzhalimi hak-hak serta kebebasan individu. Kedua sistem tersebut berlebihan
dalam memberikan nilai dunia lebih di atas perhitungan akhirat, dan memberikan
kebutuhan jasmani lebih atas kebutuhan ruhani. Maka hanya Islamlah satu-satunya
aturan yang bersih dari ekstrimitas yang dilakukan oleh kedua sistem tersebut
dan penyimpangan keduanya ke arah ifrath (berlebihan) atau tafrith
(mengurangi).
Islamlah aturan yang adil dan seimbang, yang membuat perimbangan antara
hak-hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat, antara ruhani dan
jasmani, dan antara dunia dan akhirat, tanpa berlebihan dan tanpa mengurangi.
Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah SWT:
"Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu." (Ar-Rahman: 8-9)
Tidaklah demikian itu kecuali karena Islam merupakan syari'at Allah yang
tidak menyimpang dan hukum-Nya yang tidak menzhalimi. Allah SWT berfirman:
"Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin." (Al Maidah: 50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar